
JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, sangat mengecam keras adanya intimidasi dan kekerasan yang di duga dilakukan oleh peserta Aksi 112 terhadap dua jurnalis Metro TV dan seorang wartawan Global TV di lingkungan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat (Jakpus), Sabtu, 11 Februari 2017. AJI Jakarta mendorong kepada jurnalis atau wartawan yang jadi korban dan perusahaan pers penyiaran beritanya, untuk melaporkan kasus kekerasan tersebut ke kepolisian agar kasus ini di usut hingga tuntas agar kekerasan terhadap jurnalis tidak berulang kembali.
“Tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kegiatan jurnalistiknya, bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Tindakan tersebut jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers.” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim di Jakarta, di kutip dari laman beritastu.com, Sabtu 11 Februari 2017.
Ahmad menilai, Tindakan kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan seperti itu, mencerminkan bahwa pelaku tidak menghargai dan menghormati profesi jurnalis. Padahal, sudah jelas-jelas jurnalis itu di lindungi oleh Undang-Undang Pers dalam setiap melaksanakan kegiatan jurnalistiknya yang meliput mencari bahan pemberitaan, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang di dapatnya kepada publik luas.
“Pasal 8 UU Pers dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial, seperti diatur Pasal 3,” ucap Ahmad.
Menurutnya, Tekanan dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis seperti itu, akan menghalangi hak publik untuk memperoleh berita yang akurat dan benar, karena jurnalisnya tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. Padahal jurnalis itu bekerja untuk kepentingan publik. jelas Ahmad.
Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung mengatakan, Selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis bisa dijerat Pasal 18 UU. Pasalnya mereka secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
“Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan tindakan kekerasan ini ke kepolisian. Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak di adili,” kata Erick.
Erick juga mengatakan, Anggota masyarakat juga seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakanlah mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media itu ke Dewan Pers. AJI mengimbau, jurnalis harus mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional.
“Selain itu, AJI Jakarta mendorong pemimpin redaksi memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan mengancam kerja-kerja jurnalistik. Setiap perusahaan media harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas,” tegas Erick.
Sebagaimana di beritakan sebelumnya, Kasus kekerasan itu bermula saat dua jurnalis Metro TV, Desi Fitriani (reporter) dan Ucha Fernandes (kameraman), tengah meliput aksi 11 Februari 2017 yang di kenal aksi damai 112, sekitar pukul 11.00 WIB di sekitaran Masjid Istiqlal, Jakarta. Karena mengetahui keduanya jurnalis dari Metro TV, tiba-tiba dari kerumunan massa mengusir mereka.
Dari keterangan yang berhasil di kumpulkan oleh AJI Jakarta, kedua jurnalis Metro TV ini saat itu tengah mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal, di sisi timur laut seberang Gereja Katedral. Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang “Usir Metro TV… usir Metro TV.”
Keduanya di giring oleh massa dan di caci maki, di intimidasi, dan disuruh keluar dari lingkungan masjid. Ucha Fernandes di pukuli di bagian perut, leher, dan kaki. Sedangkan kepala Desi di pukuli pakai bambu dan terluka. Setelah mendapat perlakuan itu, keduanya bisa di keluarkan dari kerumuman massa.
Juru kamera Global TV bernama Dino, juga di intimidasi saat meliput aksi tersebut. Dia di tuduh tidak sopan saat menyebut nama pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Syihab, tanpa menyertakan sebutan “Habib”. Massa memaksa dia untuk menambahkan kata “Habib” saat menyebut Rizieq Shihab. Kasus lainnya, pada Jum’at malam 10 Februari 2017, mobil Kompas TV di usir oleh massa Aksi damai 112 dari lingkungan Masjid Istiqlal.
Kasus kekerasan serupa juga dilakukan oleh peserta aksi pada 4 November dan 2 Desember 2016 lalu terhadap beberapa jurnalis. Sampai detik ini, pengaduan di Kepolisian Jakarta Pusat yang di sampaikan oleh jurnalis Kompas TV, pada awal November itu belum jelas pengusutannya.
Dalam kesempatan ini, AJI Jakarta mendorong Polres Jakarta Pusat untuk serius mengusut pelaku kekerasan yang memukuli jurnalis Kompas TV pada awal November tahun lalu. ***
Editor : Deni