Tragedi Longsor Gunungkuda, Annisa Nurhopipah : Evaluasi Total Kebijakan Konsesi Tambang Kepada Ormas Keagamaan.

oleh

CIAMIS – Annisa Nurhopipah Disastra, Srikandi bertalenta suarakan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah pusat yang memberikan IUP kepada ormas keagamaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, menurutnya PP tersebut yang dalam sektor industri ekstraktif yang dinilai jauh dari misi utamanya adalah bentuk penjinakan ormas keagamaan di tengah krisis legitimasi industri tambang.

“Pesantren seharusnya menjadi lokomotif transformasi keilmuan yang membawa kedamaian dan keseimbangan, bukan menjadi pelaku utama eksploitasi sumber daya alam,” ujar Annisa yang rancak melakukan aksi demonstrasi ini, Senin, (2/6/2025) menyingkapi tragedi longsor di area tambang galian C Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat 30 Mei 2025 menelan setidaknya 19 korban jiwa menjadi luka kemanusiaan bagi warga Jawa Barat. Ironisnya, aktivitas pertambangan tersebut dikelola oleh dua koperasi pondok pesantren (kopontren), yakni Al-Azhariyah dan Al-Ishlah.

Dalam kasus Gunung Kuda, kendati kedua kopontren mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), nyatanya mereka tidak mampu mengelola tambang secara aman dan bertanggung jawab, “Keterlibatan ormas keagamaan, tidak hanya memunculkan persoalan teknis dan risiko ekologis, tapi menciptakan krisis moral dan spiritual,” ujar srikandi kandidat calon Ketua PKC Korp PMII Jawa Barat ini.

PP Nomor 25 Tahun 2024 dapat mengaburkan garis tanggung jawab sosial dan moral ormas keagamaan, yang seharusnya menjadi penjaga harmoni sosial dan lingkungan, bukan aktor eksploitasi sumber daya. Pertanyaan apakah bijak menyerahkan urusan tambang kepada pihak yang tak memiliki kompetensi teknis? Bukankah agama sendiri mengajarkan, adalah menunggu kehancuran jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya.

Kritikan Annisa ormas keagamaan harusnya menempatkan kembali nilai-nilai etika lingkungan hidup dalam paradigma pembangunan. Ia menyebut manusia sebagai bagian dari ekosistem, memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk memanfaatkan alam, tapi juga melindunginya bagi generasi yang akan datang.

Ia mengingatkan, peristiwa longsor di Cirebon adalah contoh nyata bagaimana intervensi destruktif terhadap alam berujung pada bencana kemanusiaan, “Keseimbangan ekologis telah dilanggar. Alam memberi sinyal lewat bencana. Maka yang dibutuhkan bukan hanya audit tambang, tapi taubat ekologis,” kata Annisa.

Jika pesantren meninggalkan peran mendidik ruhani umat dan justru menjadi pelaku industri rakus, maka pesan dari ayat-ayat kauniyah Allah —yaitu alam semesta—akan diabaikan. Ini bukan sekadar krisis lingkungan, tapi juga krisis iman,” katanya menilai konteks pesantren, ia mengusulkan integrasi nilai-nilai ekologi dalam kurikulum pendidikan. Pesantren, menurutnya, bisa menjadi pelopor gerakan hijau melalui praktik-praktik nyata seperti penghijauan, pengelolaan limbah, konservasi air, dan energi terbarukan.

Annisa pada kesempatan itu berseru agar pemerintah mengevaluasi total kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Ia juga mendesak agar IUP di Gunung Kuda dicabut dan dilakukan pemulihan lingkungan serta penanganan korban secara menyeluruh.

 

 

Kontributor : Nida N Aisyah

Editor           : Abraham