
JAKARTA – Plank Pemberitahuan Publik yang ditanam LSM-PELOPOR di tanah milik ahli waris Almarhum H. M Zen alias Tjiong Boe Tjoey yang berada Jalan M. T. Haryono atau Jalan Dewi Sartika, RT 004/001, Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, masih berdiri kokoh. Padahal sehari sebelumnya, PT. Merty Jaya Gunapersada berencana akan mencabut plank pemberitahuan publik tersebut, karena mengklaim tanah seluas kurang lebih 4 Ha miliknya.
“Benar, pada hari Sabtu, 16 Desember 2017, plank pemberitahuan publik itu akan dicabut oleh pihak PT. Merty Jaya Gunapersada, tapi saya tidak izinkan. Karena, pihak PT. Merty Jaya Gunapersada tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kuat bahwa lahan tersebut miliknya. Mereka akan menujukkannya pada hari Senin, 18 Desembe 2017 ,” kata Nico Nelwan Manggaprow, Koordinator Pengawasan dan Pencegahan LSM-PELOPOR, saat ditemui wartawan di sela-sela pertemuan antara perwakilan PT. Merty Jaya Gunapersada dengan LSM-PELOPOR sebagai pemegang Mandat / Kuasa M. Napis Bin H. Asmuni, ahli Waris Alm. H.M. Zen Alias Tjiong Boe Tjoey. Senin, 18 Desember 2017.
Namun dikatakan Nico, apa yang dijanjikan oleh PT. Merty Jaya Gunapersada tidak terbukti. Pada saat pertemuan hari Senin, 18 Desember 2017, seorang bernama Ghani yang mengaku perwakilan dari PT. Merty tersebut, hanya membawa secarik kertas Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L) yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada 11 Mei 1993.
“Kita mempunyai SP3L. Dengan dasar surat inilah kita membebaskan lahan ini. Begitu Ghani pada saat itu dihadapan para Pengurus LSM-PELOPOR dan Warga serta beberapa orang awak media yang meliput pertemuan itu,” jelas Nico, menirukan perkataan bernama Ghani.
Sementara, Marao S Hasibuan, Direktur Eksekutif LSM-PELOPOR, meyakini bahwa hal tersebut yang dilakukan oleh pihak PT. Merty Jaya Gunapersada di tanah milik Ahli Waris Alm. H.M. Zen Alias Tjiong Boe Tjoey tidak benar.
Bahkan dihadapan Ghani, Marao S Hasibuan, menunjukkan surat-surat yang mengklaim bahwa tanah tersebut milik Ahli Waris.
“Mari kita bertukar surat, dan mari kita cek ke Instansi terkait. Apakah surat PT. Merty Jaya Gunapersada benar, atau surat yang saya bawa yang benar.” tegas Marao.
Sementara itu, salah seorang warga setempat bernama Muhammad Sidik menceritakan, bahwa dirinya sebagai penggarap lahan tersebut sejak tahun 1970. Sejak dimulainya pembebasan lahan untuk pembangunan Apartement Signature Park, hingga saat ini dirinya sudah berulang kali dijanjikan akan diberikan uang ganti rugi.
“Tanah dan bangunan yang saya tempati semuanya seluas 600 m, dan sekarang sudah diurug. Padahal, satu rupiahpun belum dibayar.” beber Sidik.
Menurut Sidik, apa yang diusulkan oleh Ghani untuk menuntut haknya secara hukum, bagi saya merupakan suatu perkataan yang melecehkan. Bagaimana bisa saya menggugat, untuk keperluan sehari-hari saja saya dari bantuan teman. katanya.
Apa yang dialami Muhammad Sidik, membuat Wawan, yakni Koordinator Nasional Hubungan Antar Lembaga, angkat bicara.
Wawan mengatakan, menurut kepala BKAD DKI Jakarta, sekarang ini SP3L tidak diperlukan lagi. Dulu BPN memperbolehkan pengembang yang punya 75% lahan membuat sertifikat. Sekarang harus 100% dibebaskan baru boleh disertifikatkan.
Masalah tanah cikoko ini ijin SP3L tahun 1993 yang dipegang oleh PT. Merty Jaya Gunapersada seluas 4 ha dijadikan dasar oleh oknum-oknum calo tanah atau spekulan suruhan PT Merty ini untuk mengintimidasi warga cikoko menjual tanahnya yang rata2 warga hanyalah penggarap diatas tanah Eigendom Verponding (EV) 8361. Mereka menekan warga agar menjual tanahnya dengan harga murah.
“Yang jadi pertanyaan, apakah PT. Merty Jaya Gunapersada ini, SP3L nya masih berlaku atau tidak.” tegas Wawan.
Wawan menjelaskan, SP3L bukan merupakan hak kepemilikan, tetapi hanya ijin prinsip saja. Apabila tanah akan dipakai, ya harus membebaskan dengan membayar pemilik tanah dong.
“Apapun suratnya yang dimiliki warga, pihak perusahaan tetap harus membayarnya.” kata Wawan.
(Red)
Suber : LSM PELOPOR – Wesly HS