Kepala BNPT: Penyebaran Paham Radikal Di Kampus Sudah Mengkhawatirkan

oleh
Kepala BNPT, Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, MH. Konten Jabar / Foto Istimewa

SEMARANG — Penyebaran paham radikal terorime sudah mulai sistemik dan sangat mengkhawatirkan. Bahkan, penyebaran tersebut sudah terlihat sistemik dengan masuk ke instansi-instansi pendidikan termasuk ke perguruan tinggi. Hal tersebut tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi para rektor perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia.

Hal tersebut di katakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, MH, saat memberikan kuliah umum bertema “Resonansi Kebangsaan dan mencegah Radikalisme” di hadapan sekitar 5.000 mahasiswa dan para rektor dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta se-wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kuliah umum di gelar dalam acara “Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia” yang berlangsung di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sabtu 06 Mei 2017.

“Penyebaran paham radikal di lingkungan kampus sekarang ini sudah sangat gawat sekali. Sudah tidak ada sekat. Kalau kita tidak gerak cepat untuk mengawasinya tentunya ini akan membahayakan terhadap anak-anak kita nantinya dan tentunya bangsa ini sendiri,” ujar Kepala BNPT.

Kekhawatiran akan radikalisasi di perguruan tinggi yang disampaikan Kepala BNPT ini berangkat dari peristiwa Deklarasi Khilafah oleh salah satu organisasi massa di salah satu kampus perguruan tinggi negeri di Jawa Barat beberapa hari lalu.

“Kejadian itu tentunya sangat kami sayangkan. Seharusnya pihak kampus sudah bisa mencegah kegiatan tersebut dari awal. Begitu sudah kejadian dan ramai diberitakan seperti itu jangan malah bilang tidak tahu mengenai organisasi itu,” ujar mantan Kabareskrim Polri ini.

Mantan Kapolda Jawa Barat ini pun meminta pengelola perguruan tinggi di seleuruh Indonesia untuk semakin meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas para mahasiswanya, terutama terhadap organisasi kemahasiswaan yang bersifat eksklusif.

“Radikalisme bukan hanya karena kemiskinan, kebodohan, kekecewaan, ataupun ketidakadilan. Karena saat ini radikalisme sudah terpapar di kaum intelektual. Termasuk adanya deklarasi khilafah itu tadi. Pihak kampus harus bisa mendeteksi kegiatan yang dilakukan mahasiswamya. Kami harapkan ini tidak terjadi lagi di institusi pendidikan lainnya,” katanya dengan tegas.

Kepada pada rektor yang hadir Kepala BNPT juga meminta agar perekrutan tenaga pendidik juga harus benar-benar diperhatikan. Jangan sampai penyebaran radikalisme justru masuk melalui ajaran-ajaran dari tenaga pendidiknya itu sendiri.

“Penyaringan harus benar-benar ketat dalam merekrut tenaga pendidik. Contohnya di salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur dari info yang saya dapat. Ada dosen yang sudah mengintimidasi mahasiswanya untuk tidak diberikan nilai baik jika tidak mau menurut dengan apa yang diajarkanya dalam artian ada ideologi-ideologi lain yang diajarkan dosen itu ke muridnya,” kata mantan Kadiv Humas Polri ini.

Untuk itu pihaknya akan terus berkoordinasi dan bekerja sama bersama perguruan tinggi melalui Kemristekdikti untuk memerangi radikalisme tersebut dengan berbagai upaya. Dirinya meminta guru, dosen, rektor, dekan dan kaum intelektual untuk lebih memperhatikan siswa atau pun mahasiswanya. Karena untuk menjadi radikal seseorang tentunya tidak bisa serta merta. Ada proses dan waktu, bahkan mendaoat faktor lainnya.

“Nah ketika ada mahasiswa yang sedang menyendiri, tertutup, itu harus diwaspadai. Harus diberi perhatian jangan dibiarkan begitu saja. Kalau menyendirinya dalam hal kebaikan itu tidak apa-apa, kalau mengarah ke radikalisme kan ini harus di waspadai,” tuturnya.

Karena kesendirian menjadi faktor mudahnya seseorang termakan bujuk rayu kelompok radikal atau terdoktrinasi. Tak ada jalan lain, selain mewaspadai itu sejak dini.

“Jangan sampai nanti sudah radikal, sulit akan mengembalikan seperti semula. Karena sudah banyak kejadian seperti itu. Contohnya seperti yang di deportasi dari Turki beberapa waktu lalu, itu rata-rata berpendidikan tinggi semua,” tuturnya.

Dalam paparannya pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini juga mengatakan bahwa, nasionalisme Bangsa Indonesia sudah tereduksi dengan hebat akibat faktor globalisasi. Menurutnya, sebagian besar anak muda Indonesia sekarang sudah melupakan sejarah bangsanya. Bahkan sudah banyak anak muda atau pelajar di negeri ini yang sudah tidak hafal lagi nama pahlawannya.

“Bahkan adat istiadat di daerahnya mereka juga sudah banyak yang tidak tahu. Ini kan masalah kebangsaan dan ini yang harus kita waspadai di tengah era globalisasi ini. Karena kalau kita tidak menjaganya lama-lama nasionalisme kita akan luntur,” ujar Alumni Akpol 1985 ini.

Menurutnya, Sumpah Pemuda dideklarasikan para anak muda bangsa dari berbagai pulau yang ada di Indonesia dengan berbagai etnis budaya dan agama pada tahun 1928 yang artinya 17 tahun sebelum Indonesia merdeka.

“Itu 17 tahun sebelum merdeka saja mereka sudah berani berikrar. Tinggal sekarang bagaimana eksistensi itu menjadi tantangan untuk dipertahankan dan dilestarikan di tengah era globalisasi yang saat ini terus berkembang. Sehingga generasi muda kita mampu merawat bangsa ini dengan kemajemukannya. Apakah itu akan ditinggalkan? Harus ada upaya pencerahan untuk mengingatkan kembali cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia dengan mengulas kembali sejarah bangsa kepada kaum intelektual,” ujarnya,

Mantan Wakapolda Metro Jaya ini mengatakan, penyebaran paham radikal melalui teknologi informasi (IT) sekarang ini tidak bisa dilokalisasi. “Yang bisa dilakukan saat ini adalah meminimalisasi hoax dengan memperketat kontrol sosial,” ujarnya.

Karena paham radikal sendiri saat ini bisa disebarkan melalui doktrin pada media online. Kelompok radikal telah menyebarkan hoax radikal di antaranya dengan berisi hasutan, menyebarkan kebencian, dan kekerasan, memberikan pemahaman jihad sempit, berisi SARA.

“Selanjutnya mereka mudah menjelek-jelekkan kelompok lain dengan mengajak pembacanya untuk mengikuti kemauan kelompok tersebut. Jika ada yang tertarik selanjutnya dibaiat, bisa dengan cara soft atau hard, tergantung pada individunya,” kata Suhardi.

Dengan melihat gambaran itu semua menurutnya, tantangan yang dihadapi dalam menjaga dan keberlangsungan Indonesia bergantung pada kemampuan pemuda dalam menangkal pengaruh buruk dari pihak luar. dalam kehidupan bernegara tanpa batas.

“Kami meminta kepada adik-adik generasi muda ini harus meneguhkan nasionalisme dengan jiwa, harus membangun karakter manusia seutuhnya dengan dasar hati yang dipenuhi suara kejujuran,” kata mantan Kapolres Metro Jakarta Barat dan Kapolres Depok ini mengakhiri.

Sementara itu Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Moh Nasir yang turut hadir dalam kuliah umum tersebut bersama para pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta se-Jawa Tengah dan DIY juga menyatakan bahwa kampus harus bebas dari paham radikalisme dan harus bisa menjaga citranya sebagai lembaga pendidikan dengan mengajarkan nilai-nilai dan budaya bangsa yang benar untuk mencetak pemimpin negara ini dimasa yang akan datang

“Yang harus dipahami, kalau terjadi radikalisme, berarti kita tidak menerima perbedaan. Di Indonesia tidak bisa seperti itu karena kita hidup di antara keberagaman. Jadi, mari bersama-sama kita tangkal paham yang bisa merusak generasi bangsa di masa depan. Dan kampus harus bebas dari radikalisme, bebas dari kekerasan, bebas dari narkoba. Karena semua itu akan merusak masa depan bangsa Indonesia,” kata Moh Nasir.***

(Deni)

 

 

Suara Pembaruan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *